Erik Homburger Erikson, seorang psikolog Jerman-Amerika yang dikenal dengan teori perkembangan psikososial, menyatakan ada 8 tahap perkembangan, mulai dari bayi hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan ada krisis psikososial yang harus dihadapi oleh setiap individu. Krisis tersebut dapat menghasilkan nilai yang positif ataupun negatif pada perkembangan kepribadian individu tersebut. Krisis-krisis psikososial berasal dari kebutuhan psikologis individu yang (seringkali) bertentangan dengan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan teori tersebut, setiap tahap perkembangan yang diselesaikan dengan baik akan menghasilkan karakter atau kepribadian yang sehat serta individu dapat memperoleh kebajikan dasar. Kebajikan dasar merupakan kekuatan karakter yang dapat membantu individu dalam menghadapi permasalahan-permasalahan. Kegagalan dalam menyelesaikan tahap perkembangan tertentu akan mengurangi kemampuan individu tersebut untuk menyelesaikan tahap perkembangan selanjutnya, namun dapat diselesaikan di lain waktu. Pada artikel ini, kami akan membahas 6 dari 8 tahap perkembangan yang dimulai dari usia 0 hingga usia 40 tahun.
1. Kepercayaan vs. Ketidakpercayaan (Usia 0-1½ tahun)
Pada tahap ini, bayi memiliki rasa ketidakpastian akan dunia yang mereka tinggali, sehingga mereka bergantung kepada pengasuh utama untuk mendapatkan rasa aman dan stabilitas serta konsistensi. Bila bayi tersebut mendapatkan rasa aman, stabilitas, dan konsistensi, maka bayi tersebut akan mengembangkan rasa kepercayaan yang akan membantu mereka dengan hubungan-hubungan lainnya. Mereka juga akan merasa aman meskipun dalam situasi yang mengancam. Sebaliknya, apabila bayi tersebut tidak mendapatkan rasa aman, stabilitas, dan konsistensi, maka bayi tersebut akan mengembangkan rasa ketidakpercayaan, kecurigaan, serta kecemasan. Apabila hal tersebut terjadi, maka bayi tersebut tidak akan memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi atau memengaruhi lingkungan sekitar mereka.
Keberhasilan pada tahap ini akan menghasilkan kebajikan dasar harapan. Bayi tersebut akan memiliki harapan meskipun sedang menghadapi krisis. Sebaliknya, apabila bayi tersebut tidak memiliki kebajikan dasar harapan, maka ia akan menjalani hidupnya dengan penuh ketakutan. Kualitas pengalaman dini dari seorang bayi terhadap keterikatan dapat mempengaruhi hubungan mereka dengan orang lain di masa depan.
2. Otonomi vs. Rasa Malu dan Keraguan (Usia 1½-3 tahun)
Pada tahap ini, anak-anak berfokus untuk mengembangkan rasa mandiri ketimbang keterampilan fisik. Apabila anak mendapatkan dukungan dan dorongan pada tahap ini, hal itu akan meningkatkan rasa mandiri sehingga mereka lebih percaya diri akan kemampuan mereka untuk bertahan hidup di dunia ini. Namun, bila anak terus-menerus dikritisi, terkekang, atau tidak diberi kesempatan untuk menyatakan diri mereka, maka mereka akan merasa tidak mampu untuk bertahan hidup dan menjadi terlalu bergantung pada orang lain, tidak percaya diri, serta perasaan malu dan keraguan akan kemampuan mereka.
Keberhasilan pada tahap ini akan menghasilkan kebajikan dasar kehendak. Pada tahap ini anak-anak akan mulai belajar melakukan sesuatu sendiri, seperti memakai baju/sepatu sendiri tanpa bantuan, dsb. Kemampuan tersebut menggambarkan perasaan anak yang ingin mandiri dan menumbuhkan rasa otonomi. Orangtua dapat memberikan anak ruang untuk mengeksplorasi batas kemampuan mereka serta mendukung mereka seperti toleransi terhadap kegagalan. Orangtua mendorong anak untuk mandiri, namun pada saat yang sama, melindungi anak dari kegagalan berulang. Diperlukan keseimbangan antara orangtua yang tidak terus menerus mencoba melakukan semuanya bagi anak, namun bila anak gagal dalam melakukan kegiatan tertentu, orangtua tidak mengkritisi anak akan kegagalan mereka.
3. Inisiatif vs. Rasa Bersalah (Usia 3-5 tahun)
Anak-anak mencoba menyatakan diri mereka lebih sering dengan mengarahkan permainan atau interaksi sosial lainnya. Usia ini merupakan usia dimana anak-anak lebih cepat belajar dan berkembang serta masa-masa aktif mereka. Pusat tahap perkembangan ini yaitu bermain, karena bermain memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengeksplorasi kemampuan interpersonal mereka dengan berinisiatif dalam merencanakan kegiatan. Hasilnya, anak akan menumbuhkan rasa inisiatif dan merasa aman untuk memimpin orang lain serta membuat keputusan. Sebaliknya, bila anak terus dikontrol dan inisiatif mereka terus dikritisi, maka anak akan mengembangkan rasa bersalah. Pada tahap ini anak-anak juga akan mulai banyak bertanya karena haus akan pengetahuan yang terus bertumbuh. Bila orangtua menyepelekan pertanyaan anak atau merasa malu akan pertanyaan anak, maka anak tersebut akan merasa bersalah karena merasa menjadi gangguan bagi orangtua. Rasa bersalah yang berlebihan akan membuat anak lambat dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghambat kreativitas mereka. Beberapa rasa bersalah tentunya dibutuhkan, karena membantu anak untuk belajar mengontrol diri atau mengembangkan hati nurani mereka.
Keberhasilan pada tahap ini akan menghasilkan kebajikan dasar tujuan. Kegagalan pada tahap ini akan menghasilkan rasa bersalah. Diperlukan keseimbangan antara inisiatif dengan rasa bersalah.
4. Industri vs. Inferioritas (Usia 5-12 tahun)
Pada tahap ini, anak-anak mulai belajar membaca dan menulis, matematika dasar, dan melakukan banyak hal sendiri. Guru mulai berperan penting dalam kehidupan anak sebagaimana mereka mengajarkan kemampuan spesifik pada anak. Tahap ini, kelompok anak memiliki signifikansi yang besar dan menjadi sumber utama kepercayaan diri anak. Anak-anak berusaha untuk mendapatkan pengakuan dari kelompok tersebut dengan kompetensi tertentu yang berharga bagi masyarakat, dan bangga akan pencapaian mereka. Bila anak mendapatkan dukungan atas inisiatif mereka, maka mereka akan mulai merasa kompeten dan percaya diri pada kemampuan mereka untuk mencapai tujuan. Bila inisiatif ini tidak didukung, maka anak akan merasa rendah diri, meragukan kemampuan mereka, sehingga tidak dapat mencapai potensi terbaik mereka.
Keberhasilan pada tahap ini akan menghasilkan kebajikan dasar kompetensi. Bila anak tidak dapat mengembangkan kemampuan tertentu yang dibutuhkan masyarakat, maka mereka akan mengembangkan rasa inferioritas. Namun, kegagalan tetap dibutuhkan agar anak dapat mengembangkan rasa rendah hati.
5. Identitas vs. Kebingungan Peran (Usia 12-18 tahun)
Pada masa remaja, anak-anak mulai mencari identitas diri mereka melalui eksplorasi intens terhadap nilai diri, apa yang mereka percayai, dan tujuan hidup mereka. Transisi dari anak-anak ke masa remaja sangat penting. Anak-anak semakin mandiri, dan mulai mencari tahu apa yang ingin mereka lakukan di masa depan (seperti karir, hubungan, keluarga, dsb). Individu tersebut ingin memiliki tempat di masyarakat. Pemikiran di masa remaja masih pada tahap psikososial antara anak-anak dan dewasa, antara moralitas yang dipelajari saat kecil serta etik yang berkembangkan di masa dewasa. Tahap ini merupakan perubahan yang besar bagi anak, dimana ia harus mempelajari peran yang ingin dia lakukan ketika dewasa nanti. Mereka akan mulai menguji/mempertimbangkan identitas mereka serta mencoba menemukan jati dirinya. Pada tahap ini, secara fisik, tubuh mulai mengalami banyak perubahan yang membuat anak-anak di masa remaja tidak nyaman.
Keberhasilan pada tahap ini akan menghasilkan kebajikan dasar kesetiaan. Kesetiaan disini berarti kemampuan individu dalam berkomitmen pada orang lain, seperti menerima orang lain meskipun memiliki perbedaan pendapat. Anak-anak mulai bereksplorasi akan kemungkinan-kemungkinan dan mulai membentuk identitas mereka berdasarkan hasil eksplorasi mereka. Kegagalan dalam membangun jati diri/identitas mereka dalam masyarakat akan menghasilkan kebingungan peran atau krisis identitas.
6. Keintiman dan Isolasi (Usia 18-40 tahun)
Pada tahap ini, konflik utama berpusat pada membangun keintiman, hubungan percintaan dengan orang lain. Anak-anak mulai berbagi kehidupan secara intim dengan orang lain. Mereka mencari hubungan jangka panjang dengan berkomitmen dengan orang lain selain keluarga.
Keberhasilan pada tahap ini akan menghasilkan kebajikan dasar cinta. Anak-anak akan memiliki hubungan yang sehat dan menyenangkan serta membangun komitmen, keamanan, dan kepedulian dalam hubungan percintaan mereka. Menghindari keintiman, takut berkomitmen, takut memulai hubungan dapat mengarahkan pada isolasi, kesepian, dan terkadang depresi.
Sumber refrensi: Artikel dari SimplyPsychology yang ditulis oleh Dr. Saul McLeod (https://www.simplypsychology.org/Erik-Erikson.html)